MALANG – Skandal dugaan penambangan batu ilegal di Dusun Bodean Putuk, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, kian meruncing dan mencoreng integritas penegakan hukum di wilayah tersebut.
Operasi tambang yang menurut warga sudah berlangsung lama ini terkesan kebal hukum, memicu dugaan kuat adanya praktik mafia tambang yang melibatkan oknum di tingkat desa hingga aparat penegak hukum.
Apalagi Kepala Desa (Kades) Toyomarto, saat dikonfirmasi wartawan media ini, berdalih bahwa pemilik tambang adalah Suprapto, meskipun pekerja di lapangan menyebut nama Pak Susi.
Dalih perizinan pun hanya sebatas klaim “sudah proses” yang ditangani oleh ESDM Provinsi, sebuah pernyataan yang dipertanyakan validitasnya di tengah operasi penambangan yang terus berjalan tanpa hambatan.
Masyarakat setempat secara terang-terangan menuding Kades Toyomarto terlibat aktif dalam pusaran bisnis haram ini. Dugaan keterlibatan Kades diperkuat oleh pengakuan warga mengenai maraknya tambang ilegal di desa mereka.
Kades diduga kebingungan karena saking banyaknya tambang yang beroperasi sebuah indikasi bahwa pengawasan dan penindakan justru sengaja dilonggarkan.
“Dugaan paling serius adalah adanya aliran dana atau dari para penambang kepada Kades. Jika terbukti, hal ini bukan lagi sekadar pembiaran, melainkan dugaan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi menyeret Kades ke ranah pidana korupsi” tegas masyarakat di lapangan.
Sorotan paling tajam diarahkan kepada aparat penegak hukum, yakni Polres Malang dan Kejaksaan. Keberadaan tambang ilegal yang berjalan mulus tanpa sentuhan hukum selama berbulan-bulan dinilai sebagai bukti kelalaian sistematis atau bahkan dugaan kongkalikong.
Masyarakat menyayangkan sikap kedua institusi yang seolah tutup mata terhadap pelanggaran undang-undang yang jelas-jelas merusak lingkungan dan merugikan negara.
Dalam hal ini tentunya, Kinerja aparat penegak hukum di Malang saat ini sedang diuji, apakah hukum benar-benar tegak lurus, atau justru tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Mengingat Dugaan penambangan ilegal ini melanggar secara telak.
Yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020
Pelaku penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Bahwa Setiap orang yang menambang tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Aktivitas tambang ilegal yang merusak lingkungan berpotensi melanggar Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Desakan masyarakat kini mengarah pada tindakan tegas, segera hentikan operasi tambang, tangkap para cukong di baliknya, dan usut tuntas dugaan keterlibatan oknum Kades serta aparat penegak hukum yang membiarkan kejahatan ini berlanjut.(NZ/Tim)
















