Bojonegoro, 27 Maret 2025 – Ratusan mahasiswa dan warga Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Pemerintah atau Gedung DPRD Bojonegoro dengan tajuk ‘Veteran Memanggil’. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian dan Kejaksaan yang dinilai mengancam demokrasi dan hak-hak sipil.
Dalam orasi mereka, para pengunjuk rasa menyoroti proses pembahasan revisi UU TNI yang berlangsung secara tertutup. Komisi I DPR RI diketahui memulai perumusan dan sinkronisasi pada Senin, 17 Maret 2025, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan hasil perumusan dalam rapat Panja pada Selasa, 18 Maret 2025. Selanjutnya, revisi UU TNI ini disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Beberapa perwakilan masyarakat sipil bahkan mengalami kriminalisasi ketika melakukan protes terhadap pembahasan tertutup revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, pada 15 Maret 2025.
Aksi protes ini juga dipicu oleh masuknya RUU TNI ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 setelah diterbitkannya Surat Presiden No. R12/Pres/02/2025 pada 18 Februari 2025. Kecepatan pembahasan revisi UU TNI ini berbanding terbalik dengan lambannya pengesahan RUU yang dinantikan publik, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT).
Revisi UU TNI yang telah disahkan mencakup tiga perubahan signifikan, yaitu terkait kedudukan, peran, dan masa dinas prajurit TNI. Pasal 3 menegaskan bahwa TNI berada di bawah Presiden dalam pengerahan kekuatan militer. Sementara itu, Pasal 7 memperluas tugas pokok TNI, termasuk di ranah siber, yang dikhawatirkan dapat mengancam kebebasan berekspresi. Selain itu, Pasal 47 menambah jumlah lembaga sipil yang dapat diisi prajurit aktif dari 10 menjadi 15 instansi, dan Pasal 53 memperpanjang batas usia pensiun perwira hingga 60 tahun serta bintara/tamtama hingga 58 tahun.
Para demonstran mengkhawatirkan bahwa sejumlah perubahan dalam revisi UU TNI ini akan memperkuat dwi fungsi militer, meningkatkan impunitas, serta mengancam prinsip demokrasi. Mereka juga menyoroti struktur hierarkis TNI yang berbasis rantai komando yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, masyarakat Bojonegoro memiliki pengalaman pahit terkait keterlibatan militer dalam berbagai kepentingan perusahaan migas di masa lalu. Beberapa insiden yang menjadi catatan kelam adalah pemaksaan saat pembebasan lahan untuk pengeboran Banyu Urip pada 1998, pengamanan uji seismik Mobil Cepu Ltd pada 2002, serta penembakan warga yang menuntut ganti rugi atas kebocoran gas sumur Rahayu oleh Pertamina Devon Energy.
Dalam aksi tersebut, ratusan demonstran menuntut pencabutan UU TNI yang dianggap mengancam demokrasi dan hak-hak sipil. Mereka juga mendesak agar TNI kembali fokus pada tugas pertahanan dan keamanan negara serta meminta adanya proses hukum yang transparan dan akuntabel terhadap pelanggaran HAM masa lalu.
Hingga aksi berakhir, tidak ada satu pun anggota DPRD yang memberikan tanggapan terhadap tuntutan demonstran. Namun, pihak kepolisian yang mengawal jalannya aksi telah mencatat poin-poin yang disampaikan oleh massa.