Lampung Selatan, Transpos.id. – Ketika pasar bebas menekan ekonomi lokal dan korporasi besar merajai ruang niaga digital, pemerintah hadir dengan satu harapan baru: Koperasi Merah Putih. Program ini bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan gerakan kebangsaan yang menegaskan kembali jati diri bangsa: gotong royong, kemandirian, dan keadilan sosial.
Koperasi Merah Putih digagas untuk memperkuat posisi UMKM dalam sistem ekonomi nasional. Didorong oleh semangat nasionalisme dan kekuatan kolektif, koperasi menjadi wadah bersama untuk memperkuat daya saing rakyat kecil dalam menghadapi tekanan ekonomi global. Pemerintah menyediakan pelatihan, akses modal, hingga digitalisasi sebagai bentuk nyata dukungan. Namun, benarkah semua itu cukup?
Tantangan utama justru terletak pada kualitas pengelolaan. Banyak pengurus koperasi yang masih gagap dalam manajemen modern. Lemahnya literasi keuangan, minimnya kemampuan digital, serta kurangnya pemahaman akan prinsip koperasi menyebabkan koperasi berjalan seadanya, bahkan stagnan. Di sinilah kita perlu menyoroti pentingnya pembangunan SDM koperasi yang unggul, jujur, dan visioner.
Tanpa pengelola yang berintegritas dan kompeten, koperasi hanya menjadi papan nama—bukan gerakan perubahan. Pengurus harus disiapkan dengan pelatihan berkelanjutan, pendampingan profesional, serta pemahaman mendalam tentang akuntabilitas publik. Koperasi bukan tempat mengumpulkan jabatan, melainkan amanah dari rakyat.
Lebih dari itu, keterlibatan masyarakat lokal adalah nyawa koperasi. Tanpa partisipasi aktif warga sebagai anggota, pemilik, sekaligus pengguna jasa koperasi, program ini hanya akan menjadi kebijakan dari atas yang tak berpijak di bawah. Sosialisasi koperasi harus membumi—menggunakan bahasa rakyat, menyentuh kebutuhan konkret, dan membangun kepercayaan yang selama ini hilang akibat kegagalan koperasi sebelumnya.
Sebagai pembanding, kita bisa bercermin pada pengalaman Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Banyak BUMDes yang lahir dari semangat pemberdayaan desa, namun tidak sedikit pula yang mati suri karena dikelola tanpa perencanaan matang, minim transparansi, dan tidak melibatkan warga secara aktif. Beberapa BUMDes bahkan menjadi beban APBDes karena dibentuk hanya untuk memenuhi syarat program, bukan karena kebutuhan nyata masyarakat.
Ironisnya, pelajaran dari BUMDes belum sepenuhnya menjadi rujukan dalam membangun koperasi. Padahal, inti persoalannya sama: SDM dan partisipasi masyarakat. Keduanya adalah fondasi yang tak tergantikan jika kita ingin membangun institusi ekonomi rakyat yang tangguh dan berkelanjutan.
Di tengah tantangan ekonomi digital yang makin liberal, koperasi bisa menjadi benteng terakhir rakyat. Koperasi menawarkan sistem yang adil: satu anggota satu suara, bukan satu saham satu kuasa. Nilai-nilai ini penting dikibarkan kembali sebagai antitesis dari ketimpangan struktural yang kini kita hadapi.
Koperasi Merah Putih bukan sekadar nama, tetapi cermin dari cita-cita kemerdekaan ekonomi Indonesia. Ia butuh pengurus yang cakap, masyarakat yang terlibat, serta pemerintah yang tidak hanya mengatur, tetapi juga hadir sebagai pendamping. Inilah saatnya kita tidak hanya membangun koperasi, tapi menghidupkan kembali semangat kolektif untuk masa depan ekonomi yang lebih adil dan berdaulat.
Mari jadikan Koperasi Merah Putih sebagai jalan pulang—menuju kedaulatan ekonomi rakyat, bukan sekadar replika kebijakan lama yang hanya berganti nama tanpa mengganti paradigma.
Oleh: Dedi Miryanto,S.E,M.Si