Sedot Air Tanah Secara Ilegal, RSUD Sosodoro Bojonegoro Diduga Langgar Izin

Bojonegoro – RSUD Dr. Sosodoro Djatikoesoemo, fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah, terbukti menjalankan aktivitas eksploitasi air tanah dengan izin yang sudah mati sejak 10 Mei 2022. Dalam hukum, ini tidak lain adalah praktik penyedotan ilegal terhadap sumber daya alam milik negara.

Dokumen resmi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Timur mencatat bahwa izin pengambilan air tanah (SIPA) untuk Sumur Pasak Lama ke-VIII milik rumah sakit tersebut berakhir tiga tahun sejak terbit pada 10 Mei 2019. Tidak ada dokumen perpanjangan. Tidak ada publikasi laporan penggunaan. Tidak ada tanda-tanda akuntabilitas.

Ironisnya, RSUD ini masih mengoperasikan 10 titik sumur aktif untuk kebutuhan internal. Dan lebih fatal lagi: tidak satu pun sumur pantau ditemukan. Padahal, aturan teknis dari pemerintah mewajibkan satu sumur pantau untuk setiap lima sumur produksi. Dengan sepuluh titik produksi, rumah sakit ini seharusnya memiliki dua sumur pantau untuk mengawasi kondisi lingkungan dan mencegah degradasi air tanah. Yang terjadi justru nihil. Zero. Kosong.

Ketiadaan sumur pantau bukan kekeliruan administratif. Ini adalah bentuk kelalaian struktural yang membahayakan keberlangsungan ekosistem bawah tanah. Tanpa pemantauan, rumah sakit ini beroperasi dalam zona gelap, tak bisa mengukur pencemaran, penurunan muka air tanah, atau kerusakan hidrogeologis lainnya. Ini bukan sekadar pelanggaran, ini adalah pengabaian total terhadap prinsip dasar perlindungan lingkungan hidup.

Dalam dokumen SIPA disebutkan, RSUD hanya diberi hak menyedot 10 meter kubik per hari dari sumur berkedalaman 60 meter dengan pompa bertenaga 32 HP. Tetapi, hingga kini tidak ada satu pun laporan resmi dari pihak rumah sakit terkait volume aktual yang diambil. Tanpa meter air. Tanpa kalibrasi. Tanpa uji laboratorium tahunan.

Semua kewajiban administratif itu diatur jelas dalam Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 12 Tahun 2011. Pasal demi pasal menyebutkan sanksi administratif hingga pidana bagi pelanggaran pengelolaan air tanah. Namun dalam praktiknya, aturan itu tampak mandul di hadapan institusi publik yang semestinya menjadi teladan.

Hingga laporan ini diturunkan, pihak RSUD bungkam. Dinas ESDM tidak menjawab. Tak ada satu pun klarifikasi mengenai keberlanjutan izin maupun mitigasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas ilegal ini. Ini adalah bentuk pembiaran sistemik, saat rumah sakit pemerintah justru menjadi pelaku pelanggaran yang terus berlangsung tanpa intervensi hukum.

Jika warga biasa menyedot air tanpa izin disebut ilegal, maka apa istilah yang layak untuk institusi publik yang mengambil air tanah berton-ton setiap bulan tanpa izin aktif, tanpa kontrol, dan tanpa tanggung jawab?-(*)

By Redaksi

Tinggalkan Balasan