Tuban – Proyek Penggantian Jembatan Rayung Ruas Jalan Senori–Sembung di Kabupaten Tuban mulai menjadi sorotan tajam publik. Berdasarkan data resmi LPSE Tuban, pekerjaan konstruksi dengan pagu dan HPS masing-masing senilai Rp985 juta ini dimenangkan oleh PT Karto Joyo Putro, perusahaan asal Desa Wolutengah, Kecamatan Kerek, Tuban. Nilai kontrak disepakati sebesar Rp973.836.720,36, berada di bawah pengelolaan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan Rakyat, dan Kawasan Permukiman (DPUPR-PRKP) Kabupaten Tuban.
Namun di balik angka itu, investigasi lapangan menunjukkan potret berbeda. Pada Sabtu (25/10/2025), di lokasi proyek dengan koordinat -7.054947°, 111.277003°, ditemukan indikasi kuat bahwa pelaksanaan pekerjaan tidak mengikuti standar teknis konstruksi jembatan Bina Marga sebagaimana diatur dalam Permen PUPR Nomor 11/PRT/M/2021 dan Permen PUPR Nomor 28/PRT/M/2016.
Pantauan di lokasi memperlihatkan pekerjaan bagian abutment (kepala jembatan) dilakukan dengan bekisting kayu seadanya tanpa pengaku vertikal maupun penopang logam (bracing system) sesuai prosedur kerja beton bertulang. Kondisi formwork tampak tidak rigid, bahkan tidak menggunakan release agent, yang berpotensi menimbulkan deformasi struktur dan cacat pada permukaan beton.
Lebih fatal, di area galian pondasi tidak ditemukan sistem dewatering atau pengeringan dasar galian sebagaimana diwajibkan pada pekerjaan di bawah muka tanah. Tanah gembur bercampur air memperlihatkan bahwa pekerjaan dilakukan tanpa perlindungan sheet pile sementara. Situasi ini tidak hanya menyalahi spesifikasi teknis umum pekerjaan jembatan, tetapi juga mengabaikan prinsip keselamatan kerja (K3) sebagaimana diatur dalam Permen PUPR Nomor 10/PRT/M/2021 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK).
“Kalau galian sedalam itu tidak ada pengaman dinding, apalagi pekerjanya tanpa helm dan sepatu safety, itu jelas pelanggaran fatal,” tegas aktivis antikorupsi yang enggan disebutkan namanya saat meninjau lokasi proyek.
“Pekerjaan ini terlihat lebih berorientasi pada kejar waktu, bukan kejar mutu. Ini harus diusut,” tambahnya.
Selain persoalan teknis, proyek bernilai hampir Rp1 miliar ini juga diduga melanggar prinsip transparansi publik. Tidak ditemukan papan nama proyek di lokasi yang semestinya memuat informasi dasar seperti sumber anggaran, pelaksana, dan waktu pekerjaan. Ketiadaan itu mengindikasikan lemahnya kontrol dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) maupun Konsultan Pengawas, yang berkewajiban memastikan setiap pekerjaan sesuai dokumen kontrak dan spesifikasi.
Eko Asrori menilai absennya papan informasi bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk pengabaian akuntabilitas publik. “Papan proyek itu bukti keterbukaan. Kalau dari awal saja sudah ditutup-tutupi, wajar bila publik menduga ada yang tidak beres,” ujarnya.
Secara teknis, penggunaan bekisting kayu tanpa penopang logam dapat menimbulkan pergeseran lateral saat pengecoran, yang berisiko membuat kepala jembatan miring (abutment leaning). Pengerjaan pondasi yang langsung bersentuhan dengan tanah asli tanpa lapisan lean concrete juga bertentangan dengan Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Revisi 2, bagian Item 2.2.2.3 tentang Pondasi Beton Bertulang.
Ketidaksesuaian ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi bisa berakibat kegagalan struktural dini. Bila tidak segera dikoreksi, jembatan berpotensi mengalami penurunan diferensial dan retak dini pada struktur utama, yang mengancam keselamatan pengguna jalan.
Dengan kontrak senilai Rp973,8 juta, proyek ini wajib memiliki Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK), shop drawing yang telah disetujui, serta quality control plan sebagai dasar pelaksanaan. Jika pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dokumen, maka tanggung jawab hukum melekat pada tiga pihak: penyedia jasa (PT Karto Joyo Putro) selaku pelaksana, Konsultan Pengawas, dan PPK DPUPR-PRKP Kabupaten Tuban selaku penanggung jawab kontrak.
Audit teknis independen perlu segera dilakukan untuk menilai kesesuaian mutu material, metode kerja, dan hasil pelaksanaan terhadap spesifikasi kontrak. Jika terbukti terjadi penyimpangan signifikan, maka proyek ini dapat dikategorikan sebagai potensi kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Kasus proyek jembatan Senori–Sembung menjadi cerminan bagaimana lemahnya pengawasan bisa menggerogoti mutu infrastruktur publik. Di atas kertas proyek ini bernilai miliaran, tetapi di lapangan, nyawa pekerja dan keselamatan publik seolah tidak dihitung dalam kontrak. Jika dugaan pelanggaran teknis ini terbukti, maka proyek ini bukan sekadar jembatan penghubung dua desa, melainkan simbol runtuhnya integritas dalam pengelolaan pembangunan daerah.











