Bojonegoro – Pengelolaan dana dan aset Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Jaya Tirta di Desa Gedongarum, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, kembali menjadi sorotan. Sorotan muncul setelah terungkap adanya kejanggalan dalam kemitraan antara BUMDes dan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA), terutama terkait pembagian hasil usaha dan dasar hukum kerja sama.
Izin di HIPPA, Hasil Terbesar ke BUMDes
Berdasarkan data lapangan, HIPPA—yang secara resmi memegang izin kelola jaringan irigasi—hanya menerima sekitar 13 persen dari hasil usaha.
Sementara itu, BUMDes Jaya Tirta menguasai 62 persen, dan pemerintah desa menerima 25 persen.
Padahal secara legal, izin pengelolaan jaringan irigasi berada di bawah HIPPA sesuai Permen PUPR No. 17/PRT/M/2015, bukan BUMDes. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai dasar hukum pembagian hasil yang dinilai tidak proporsional.
“Yang punya izin kelola itu HIPPA, tapi yang hasilnya paling besar justru BUMDes. Ini janggal,” ujar salah satu sumber dari kalangan petani Gedongarum, Minggu (27/10).
Ketua BUMDes: Semua Sudah Sesuai Aturan dan Terlapor
Ketua BUMDes Jaya Tirta, Sunarko, saat dikonfirmasi menegaskan bahwa seluruh kegiatan usaha dan pembagian hasil dilakukan secara terbuka, serta tercatat dalam laporan resmi setiap musim panen.
“Semua kegiatan BUMDes berjalan sesuai aturan dan selalu dilaporkan setiap musim panen. Semua tertera rinci, baik operasional, produksi, beban gaji, dana kegiatan sosial, setoran pendapatan asli desa, dan lainnya,” jelas Sunarko.
Namun demikian, Sunarko belum menjelaskan secara detail mengenai dasar hukum MOU antara BUMDes dan HIPPA, serta mekanisme penetapan persentase pembagian hasil yang berbeda jauh dari porsi kewenangan masing-masing pihak.
Celah Administratif dan Potensi Pelanggaran
Dari hasil penelusuran, ditemukan sejumlah celah administrasi yang berpotensi menimbulkan pelanggaran tata kelola:
1. Pembagian hasil tidak proporsional dengan dasar kewenangan hukum. HIPPA sebagai pemegang izin hanya mendapat 13%, sedangkan BUMDes menerima bagian terbesar (62%).
2. BUMDes diduga menumpang izin HIPPA tanpa izin tambahan dari instansi teknis terkait.
3. Belum ditemukan Perdes atau SK Kepala Desa yang mengesahkan MOU kerja sama HIPPA–BUMDes.
4. Pemerintah desa ikut menerima hasil dari izin lembaga lain (HIPPA), yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kondisi tersebut dinilai bertentangan dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 87 ayat (3) dan Permendes PDTT No. 3 Tahun 2021 Pasal 50, yang menegaskan batas kewenangan dan akuntabilitas usaha BUMDes.
Transparansi Aset dan Laporan Keuangan Masih Terbatas
Ketua BPD Gedongarum, Ahmad Safi I, menyebut bahwa 25 persen Sisa Hasil Usaha (SHU) BUMDes disetorkan ke Pendapatan Asli Desa (PAD), dan laporan pertanggungjawaban (LPJ) telah dibuka di tingkat RT/RW agar masyarakat dapat mempelajarinya.
Sementara pengawas BUMDes, A. Nur Khakim, memastikan bahwa laporan keuangan tersedia lengkap setiap musim panen, meliputi nota belanja, bukti pembangunan, serta inventaris aset yang terus bertambah—seperti kantor, sawah, mesin diesel, dan dinamo.
Meski begitu, publik belum memiliki akses langsung terhadap dokumen LPJ maupun MOU kerja sama HIPPA–BUMDes, sehingga aspek transparansi masih dinilai terbatas.
Kades Belum Memberi Tanggapan
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Desa Gedongarum, Purwanto, yang dikonfirmasi melalui pesan singkat dan aplikasi WhatsApp, belum memberikan tanggapan terkait dasar hukum, pembagian hasil, maupun pengawasan dana desa dalam kegiatan BUMDes Jaya Tirta.
Sikap diam pemerintah desa ini semakin memperkuat desakan agar dokumen kemitraan HIPPA–BUMDes dibuka secara publik untuk mencegah kesalahpahaman dan dugaan penyimpangan.
Desakan Audit dan Klarifikasi Resmi
Sejumlah pemerhati desa di Kecamatan Kanor menilai situasi ini perlu segera diklarifikasi oleh Pemerintah Desa Gedongarum dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Bojonegoro.
Audit terbuka terhadap BUMDes Jaya Tirta dinilai penting untuk memastikan keabsahan kerja sama, keadilan pembagian hasil, serta transparansi pengelolaan dana publik.
“Kalau HIPPA yang punya izin tapi hasilnya dikuasai BUMDes, berarti ada kesalahan tata kelola. Dokumen MOU-nya harus dibuka agar tidak muncul dugaan penyimpangan,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.











