Bagaikan Kolam Mini!!..Jalan Trucuk Seakan di Anak Tirikan, Pemkab Tidur Apa Pura-pura Tutup Mata

Bojonegoro – Di ujung Kecamatan Trucuk, Bojonegoro, terbentang sebuah jalan yang lebih layak disebut “monumen ketidakpedulian” ketimbang fasilitas publik.

Jalan Mori–Guyangan, yang seharusnya menjadi penghubung vital warga desa, kini berubah menjadi simbol betapa pembangunan bisa begitu timpang, berkilau di pusat kota, tetapi gelap dan menyakitkan di pelosok.

Di tengah derasnya alokasi anggaran setiap tahun, jalan ini justru menjadi panggung lengang yang memperlihatkan siapa yang benar-benar diperhatikan dan siapa yang dibiarkan menunggu tanpa kepastian.

Lubang-lubang besar yang dipenuhi air, seakan siap dijadikan kolam renang mini, menghiasi sepanjang ruas Mori–Guyangan.

Genangan itu tak sekadar hambatan, tetapi ironi, cara kreatif pemerintah memperkenalkan konsep baru pembangunan, “Jalan Uji Nyali Warga.” Jalan yang menganga bukanlah kejadian baru, melainkan bukti betapa lamanya kesabaran masyarakat diuji tanpa adanya tindakan nyata dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab.

Warga setiap hari bagai peserta lomba bertahan hidup, mereka melintasi jalan yang mirip lintasan bebek, sambil berharap kendaraan mereka tidak rontok dan kaki tidak terperosok.

Sementara itu, jargon manis pemerintah daerah tentang “jalan klenyer” hanya bergema untuk wilayah kota; desa seolah sekadar catatan pinggir yang tidak penting.

Ironisnya, pemerintah kerap memamerkan keberhasilan pembangunan, namun kenyataannya, jalan yang menjadi nadi perekonomian warga justru dibiarkan merana.

Jika benar jalan ini aset Pemkab, maka perhatian yang diberikan tampaknya hanya mitos, namun jika aset desa, mungkin para pemangku kebijakan sedang sibuk mengutak-atik angka ADD, dana desa, dan alokasi anggaran lainnya tanpa memastikan bahwa infrastruktur dasar benar-benar tersentuh.

Wawan, seorang pegiat informasi setempat, melontarkan kritik tajam, ia mempertanyakan kinerja pemerintah jika benar jalan tersebut berada dalam kewenangan kabupaten.

“Kalau ini aset Pemkab, lalu selama ini kemana saja? Masa tidak tahu ada jalan rusak parah seperti ini, tapi proyek di kota masih terus dipermak? Ada apa dengan prioritas?” ujarnya lantang.

Menurutnya, kondisi geografis desa tidak mengalami perubahan, sejak dulu luas wilayah tetap, lalu mengapa titik pengerjaan proyek konstruksi dari tahun ke tahun selalu ditempatkan di lokasi yang itu-itu saja? Padahal anggaran pembangunan dari pusat selalu cair dengan lancar.

“Kalau anggaran tahunan dari pemerintah pusat habis untuk operasional dan gaji perangkat desa, lalu alokasi pembangunan itu digunakan untuk apa? Masyarakat butuh melihat hasil, bukan sekadar laporan yang rapi di atas meja,” tambahnya.

Kondisi jalan Mori–Guyangan hari ini adalah potret telanjang lemahnya pengawasan, hilangnya prioritas, dan rapuhnya tanggung jawab.

Janji-janji pembangunan yang dulu manis kini tinggal dekorasi tanpa makna, warga tak lagi butuh slogan atau pencitraan, yang mereka butuhkan adalah tindakan nyata. Perbaikan, bukan pidato. Solusi, bukan wacana.

Sebelum hujan berikutnya menjadikan jalan ini kolam berbahaya, atau kemarau berikutnya mengubahnya menjadi arena debu menyiksa, pemerintah seharusnya bergerak.

Pasalnya yang rusak bukan hanya jalan, tetapi juga kepercayaan masyarakat.

By Redaksi

Tinggalkan Balasan