Dari Kota hingga Desa: Tata Kelola Parkir Berbasis Komunitas

Lampung Selatan, Transpos.id. – Persoalan pengelolaan parkir, baik di kota maupun desa, kerap luput dari perhatian kebijakan publik. Padahal, tata kelola parkir menyimpan potensi besar bagi peningkatan pendapatan daerah, pemberdayaan ekonomi lokal, hingga perbaikan layanan publik. Sayangnya, banyak wilayah masih tersandera oleh kebocoran retribusi, praktik monopoli, dan minimnya keterlibatan warga dalam pengelolaan ruang publik.

Model keterlibatan masyarakat sebagai pihak ketiga dalam sistem manajemen parkir kini menjadi pendekatan yang kian relevan, tidak hanya di kota besar tapi juga di pelosok desa. Pendekatan ini bukan sekadar alternatif, melainkan solusi yang berpijak pada prinsip demokrasi ekonomi dan nilai kearifan lokal.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi fondasi kuat dalam mendorong peran aktif masyarakat dalam pengelolaan potensi wilayah. Desa diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya lokal berbasis partisipasi, transparansi, dan keadilan. Dalam konteks ini, pengelolaan parkir dapat dimasukkan sebagai bagian dari ekonomi desa, baik melalui Koperasi Desa, BUMDes maupun komunitas warga yang dibentuk secara demokratis.

Pembentukan wadah komunitas masyarakat untuk pengelolaan parkir harus dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan rotasi kepengurusan secara periodik. Ini penting guna menghindari dominasi kelompok tertentu, praktik monopoli, serta potensi kebocoran anggaran yang sering muncul ketika pengelolaan dilakukan sepihak. Sistem rotasi memberikan kesempatan kepada siapa pun yang memenuhi syarat untuk terlibat, memperkuat rasa keadilan sosial, dan menumbuhkan tanggung jawab kolektif.

Beberapa daerah telah membuktikan keberhasilan model ini. Di Kota Garut, masyarakat dilibatkan dalam paguyuban pengelola parkir di bawah koordinasi Dinas Perhubungan. Sistem ini bukan hanya menekan praktik liar, tapi juga meningkatkan pendapatan daerah. Kabupaten Banyumas mengusung pendekatan good governance dengan melibatkan lintas OPD dan warga, memastikan akuntabilitas dan efisiensi sistem retribusi.

Kota Bengkulu, melalui Perumda Pasar, menjalin kolaborasi dengan masyarakat lokal untuk mengelola parkir di pasar tradisional. Dampaknya, muncul rasa kepemilikan warga terhadap fasilitas publik. Sementara itu, Banda Aceh mengedepankan transparansi dengan mempublikasikan laporan parkir secara terbuka. Di Kota Tegal, rotasi pengelola secara berkala telah terbukti menekan praktik eksklusif kelompok tertentu.

Potensi serupa juga ada di desa-desa. Banyak desa wisata atau pasar mingguan yang memiliki lahan parkir strategis. Sayangnya, belum dikelola secara optimal oleh masyarakat. Padahal, jika diberikan pembinaan teknis dan dukungan kebijakan, masyarakat desa mampu menjadi pengelola yang profesional dan transparan.

Pemerintah daerah dan pusat memegang peranan penting dalam pembinaan dan pengawasan. Mulai dari pelatihan manajemen keuangan, sistem pelaporan digital, hingga evaluasi periodik. Dukungan ini bukan bentuk intervensi berlebih, melainkan tanggung jawab negara dalam memastikan ruang publik dikelola adil, bersih, dan demokratis.

Sudah saatnya persoalan tata kelola parkir—baik di kota maupun desa—masuk dalam agenda pembangunan berkelanjutan. Bukan semata mengejar retribusi, tapi mendorong pemberdayaan masyarakat lokal sebagai aktor utama pengelolaan ruang publik. Keterlibatan warga bukanlah pengalihan tanggung jawab, melainkan bentuk konkret demokrasi ekonomi yang menyentuh akar kehidupan rakyat.(Red)

 

Oleh: Dedi Miryanto,S.E,M.Si
ASN Kabupaten Lampung Selatan | Pengurus FKBN Lampung | Purna Pramuka Jambore Dunia 91

Bay Lampung Selatan

Tinggalkan Balasan