Ngawi, Jawa Timur — Dugaan keracunan massal Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Ngawi kian mengarah pada skandal serius keamanan pangan dan dugaan pelanggaran hukum berat. Sekitar 80 siswa SD dan SMP dilarikan ke Puskesmas Gemarang setelah menyantap MBG yang diproduksi oleh SPPG Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar.
Korban berasal dari SDN 2 Jenggrik dan SMPN 2 Kedunggalar. Sebelum dikonsumsi, sejumlah siswa telah mengeluhkan makanan berbau amis, namun tetap terdistribusi ke siswa. Tak lama setelah itu, puluhan siswa mengalami mual, muntah, pusing, dan lemas.
– Dinkes: Uji Lab Masih Berjalan, Hasil 9 Hari Lagi
Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi menyatakan telah melakukan pembinaan dan penyuluhan terhadap SPPG terkait pengelolaan makanan dan sterilisasi tempat produksi.
“Kami hanya berwenang melakukan pembinaan dan sosialisasi terkait makanan bergizi dan tempat yang layak untuk proses pembuatan makanan. Saat ini uji laboratorium masih berjalan dan hasilnya sekitar sembilan hari lagi,” ujar Bu Dina, salah satu pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi.
Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa fungsi pengawasan aktif maupun tindakan hukum berada di luar sekadar pembinaan, sementara korban telah berjatuhan.
SPPG Desa Kawu Akui Belum Mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS)
Saat dikonfirmasi, Kepala SPPG Desa Kawu, Agus Wijayanto, membenarkan adanya dugaan keracunan MBG yang diproduksi dapurnya. Yang lebih mengkhawatirkan, SPPG tersebut diakui belum mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) — dokumen wajib dalam operasional penyedia makanan skala layanan publik.
Agus juga menyampaikan bahwa penyebab sementara diduga berasal dari telur yang sudah basi, namun pihaknya masih menunggu hasil uji laboratoris.
Pengakuan ini memperkuat dugaan bahwa MBG diproduksi dan diedarkan tanpa memenuhi standar kelayakan sanitasi sebagaimana diwajibkan undang-undang.
– Parah Diduga Dimiliki Anggota Dewan
Lebih mengejutkan lagi, saat ditanya awak media terkait kepemilikan SPPG Desa Kawu, kepala SPPG menyebut bahwa usaha tersebut diduga dimiliki oleh salah satu anggota dewan dari Partai Demokrat di Kabupaten Ngawi.
Dugaan ini masih terus didalami, namun fakta ini langsung memunculkan indikasi konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan pengaruh kekuasaan dalam proyek pangan publik.
Jika kepemilikan tersebut terbukti, maka kasus ini bukan lagi sekadar kelalaian teknis, melainkan berpotensi menjadi skandal etik dan hukum yang serius.
– Ini Bukan Sekadar Kelalaian, Ini Dugaan Pelanggaran Hukum Berat
Berdasarkan fakta yang muncul — makanan berbau amis, dugaan telur basi, SPPG tanpa SLHS, serta korban massal anak-anak — maka peristiwa ini berpotensi melanggar berlapis-lapis undang-undang, antara lain:
🔴 UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Pasal 86 ayat (1): Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang tidak memenuhi standar keamanan dan mutu.
Pasal 136: Pelaku dapat dipidana hingga 5 tahun penjara dan denda miliaran rupiah. ➡ Produksi dan distribusi MBG tanpa standar dan menimbulkan korban berpotensi pidana penuh.
🔴 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Negara dan penyelenggara wajib menjamin keamanan konsumsi masyarakat. ➡ Kelalaian pada anak-anak sekolah masuk kategori pelanggaran serius perlindungan kesehatan publik.
🔴 Permenkes tentang Higiene Sanitasi Jasaboga
Setiap dapur produksi WAJIB memiliki SLHS. ➡ Operasional tanpa SLHS dapat dicabut izinnya dan diproses hukum.
🔴 Pasal 359 KUHP
Kelalaian yang menyebabkan orang lain sakit dapat dipidana penjara.
🔴 Jika Kepemilikan Anggota Dewan Terbukti
Berpotensi melanggar:
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3),
Prinsip Larangan Konflik Kepentingan dalam penyelenggaraan negara,
Serta kode etik dewan, yang dapat berujung sanksi etik hingga pemberhentian.
– Negara Tidak Boleh Cuci Tangan
Fakta bahwa:
SPPG belum mengantongi SLHS,
Makanan diduga berbahan telur basi,
Dan korban adalah anak-anak sekolah,
menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan potensi kegagalan sistemik pengawasan negara.
Pertanyaan keras yang kini menggema di publik:
Bagaimana mungkin dapur tanpa SLHS bisa menyuplai makanan untuk program nasional?
Siapa yang meloloskan operasional SPPG tersebut?
Jika benar dimiliki anggota dewan, di mana pengawasan konflik kepentingannya?
Tuntutan Publik
– Masyarakat kini mendesak:
1. Penghentian total sementara operasional SPPG Desa Kawu,
2. Pengumuman terbuka hasil uji laboratorium,
3. Audit menyeluruh perizinan dan kepemilikan SPPG,
4. Pemanggilan pihak-pihak yang terlibat, termasuk jika ada unsur anggota dewan,
5. Proses pidana tanpa pandang bulu jika terbukti ada kelalaian atau pelanggaran hukum.
MBG adalah program negara. Tapi nyawa anak-anak bukan jaminan politik.
Jika kasus ini tidak dituntaskan secara hukum, maka Negara sedang memberi contoh bahwa keselamatan publik bisa dikalahkan oleh kekuasaan dan pembiaran.












