Banyuwangi – Gelombang kritik keras terhadap mantan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan penerusnya yang juga istrinya, Ipuk Fiestiandani, semakin membara. Kali ini, kritik datang dengan bahasa paling telanjang dan tanpa kompromi dari Aktivis Filsafat Logika Berpikir, Raden Teguh Firmansyah, yang menyebut keduanya sebagai “duet pencitraan” yang membungkus kehancuran Banyuwangi dengan festival, tepuk tangan, dan panggung seremonial. Senin. 1 Desember 2025.
Raden Teguh menilai bahwa selama bertahun-tahun rakyat Banyuwangi dibuat terpukau oleh lampu panggung, sementara di belakang layar tanah mereka dijual, alam mereka dikoyak, dan masa depan anak cucu mereka dipertaruhkan.
Fokus utama kritik tersebut adalah kerusakan parah bukit Tumpang Pitu, yang kini berubah menjadi kawah menganga akibat eksploitasi tambang emas PT BSI.
“Ini bukan pembangunan. Ini barter masa depan. Tumpang Pitu itu tidak rusak, itu DIMAKAN HIDUP-HIDUP oleh kebijakan yang lahir dari rakusnya elite dan dinginnya perusahaan asing,” sentilan Raden Teguh.
Ia menyebut bahwa kehancuran itu dimulai pada masa Abdullah Azwar Anas, dan dilanjutkan tanpa rem oleh istrinya sendiri.
“Anas membuka pintu hancurnya Tumpang Pitu. Ipuk melanjutkannya sambil tersenyum di panggung festival. Rakyat disuguhkan pesta, sementara tanah mereka dipreteli. Ini bukan kepemimpinan, ini strategi pengalihan,” tegasnya.
Tak berhenti di situ, Raden Teguh menyerang keras gaya pemerintahan Ipuk yang dinilai hanya sibuk membuat kegiatan pencitraan tanpa menyentuh akar kerusakan.
“Jangan salah, puk bukan meneruskan pelayanan publik, dia meneruskan POLA LICIK suaminya. Yang dijahit itu bukan kebijakan, tapi selimut tebal untuk menutupi kebusukan mereka berdua. Banyuwangi bukan pabrik event, tapi tanah yang sedang luka parah,” ujarnya.
Raden Teguh juga meledakkan kritik terhadap PT BSI sebagai pihak yang menikmati emas yang seharusnya menjadi berkah masyarakat.
“PT BSI itu ibarat mesin penghisap tanpa hati, emasnya diangkut, bukitnya dihancurkan, dan anak cucu Banyuwangi ditinggalkan sebagai korban. Bukit yang seharusnya melindungi daratan dari murka lautan justru mereka ratakan. Ini tragedi yang diproduksi oleh kolaborasi kekuasaan dan korporasi,” katanya.
Tak berhenti di sana, ia menutup kritiknya dengan kalimat paling menusuk,
“Anas dan Ipuk harus diingat bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai pasangan yang menciptakan luka besar di Banyuwangi. Mereka memoles wajah kabupaten ini, tapi membusukkan jantungnya. Jika kritik ini terasa keras, itu karena luka rakyat jauh lebih keras dari kata-kataku.”tutup Raden Teguh Firmansyah, Aktivis Filsafat Logika Berpikir
Rilis ini menguatkan bahwa resistensi terhadap kebijakan tambang dan pola pencitraan pemerintahan Banyuwangi semakin besar. Masyarakat dan aktivis menunggu langkah hukum, politik, dan moral yang mampu menghentikan kerusakan yang telah terjadi.
















