Publik Geram, Polresta Blitar Seolah Tutup Mata dan Lumpuh Hadapi Pak Dhu Bandar Judi Jatilenger.!

Blitar – Eksistensi gelanggang judi sabung ayam di Desa Jatilenger, Kecamatan Ponggok, kini bukan lagi sekadar rahasia umum, melainkan sebuah penghinaan terang-terangan terhadap wibawa hukum di Kabupaten Blitar.

Meski gelombang pemberitaan telah berkali-kali membedah borok aktivitas haram ini, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik, Arena tetap mengepul, taruhan tetap mengalir, dan sosok Pak Dhu yang disebut-sebut sebagai aktor intelektual di balik layar tampak semakin pongah.

Sikap Pak Dhu yang merespons konfirmasi wartawan dengan nada intimidatif bukan sekadar masalah etika komunikasi. Itu adalah sinyal kuat bahwa ada rasa aman yang dibeli atau dijanjikan.

Pertanyaan retoris, Maksutnya apa, mintaknya apa? yang dilontarkan sang bandar Pak Dhu adalah tamparan bagi penegak hukum. Kalimat itu seolah menegaskan bahwa hukum di wilayah ini bisa dinegosiasikan dengan nominal, bukan ditegakkan dengan moral.

Publik kini berhak bertanya, Apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh jajaran Polresta Blitar? Sulit diterima akal sehat jika aparat dengan perangkat intelijen yang lengkap kalah telak oleh aktivitas perjudian yang berlokasi menetap dan memiliki jadwal rutin setiap Sabtu.

Jika hingga edisi berita ini terbit belum ada garis polisi atau tindakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku terhadap sarang Judi di Jatilenger, maka pilihannya hanya dua, Ketidakmampuan teknis (inkompetensi) atau pembiaran yang disengaja.

Kelambanan ini menciptakan persepsi bahwa korps seragam cokelat di Blitar sedang mengalami kelumpuhan selektif sangat responsif pada kasus kecil, namun mendadak kehilangan taring saat berhadapan dengan sindikat yang memiliki logistik kuat.

Kekecewaan mendalam merayap di kalangan warga sekitar. Seorang penduduk lokal yang meminta identitasnya dikubur dalam-dalam demi keselamatan, memberikan pernyataan yang sangat menyentil nurani aparat.

Masyarakat sudah bosan melihat mobil-mobil mewah mondar-mandir setiap akhir pekan ke sana. Kalau Polisi bilang tidak tahu, berarti mereka sedang melawak. Atau jangan-jangan, seragam yang mereka pakai itu hanya simbol.

“sementara yang memegang kendali perintah sebenarnya adalah para bandar itu? Jangan sampai masyarakat menyimpulkan bahwa kantor polisi itu hanya tempat melapor kehilangan STNK, bukan tempat mencari keadilan melawan mafia” cetus masyarakat yang enggan disebutkan namanya

Dalam kesempatan sama, Warga lain yang juga enggan disebutkan namanya menambahkan dengan nada yang tak kalah pedas. Mungkin nunggu ada instruksi dari Mabes Polri atau nunggu viral sampai ke telinga Presiden dulu baru mereka mau bergerak.

“Malu kita sebagai masyarakat, punya aparat tapi fungsinya seperti pajangan saat judi terang-terangan di depan hidung” tegas nya dengan nada kecewa.

Dalam perkara ini, tentunya sangat wajib untuk diketahui masyarakat atau publik, bahwa Hukum tidak boleh kalah oleh gertakan bandar atau tumpukan uang taruhan.

Jika Pasal 303 KUHP masih dianggap sebagai hukum positif di Indonesia, maka tidak ada alasan bagi Polresta Blitar untuk terus menunda penindakan. Publik tidak lagi butuh narasi “akan kami selidiki atau “terima kasih informasinya.”

Publik menuntut pembongkaran arena. Jika Pak Dhu tetap tak tersentuh, maka wajar jika muncul mosi tidak percaya, Apakah Polresta Blitar bekerja untuk mengayomi masyarakat, atau justru mengamankan kenyamanan para bandar.

Waktu terus berjalan, dan diamnya aparat penegak hukum setempat merupakan bentuk pembiaran yang paling nyata terhadap rusaknya moralitas di Bumi Penataran.

By Redaksi

Tinggalkan Balasan