Bojonegoro – Viralnya keluhan warga atas proyek drainase dan trotoar di sejumlah ruas utama Kota Bojonegoro, mulai dari Jalan Panglima Polim, Sawogaling, WR. Supratman hingga AKBP M. Suroko, akhirnya memaksa Komisi D DPRD Bojonegoro turun ke lapangan.
Sidak mendadak dilakukan di tengah derasnya kritik publik yang menilai proyek bernilai miliaran rupiah dari APBD tersebut penuh kejanggalan. Sorotan utama kualitas pekerjaan yang buruk, permukaan jalan tidak rata, hingga sisi keselamatan pengguna jalan yang diabaikan.
Namun, di balik maraknya pemberitaan dan ramainya inspeksi, terungkap persoalan yang lebih mendasar, bukan hanya di lapangan, tapi di sistem birokrasi yang melahirkan proyek itu sendiri.
“Kami bukan tidak ingin kerja sesuai kontrak. Tapi bagaimana bisa pasang pasir dasar kalau lokasi sudah tergenang air? Musim hujan tidak menunggu prosedur administrasi,” ujar salah satu kontraktor pelaksana yang enggan disebutkan namanya.
Hasil penelusuran menunjukkan, siklus yang sama terus berulang setiap tahun. Dari total 12 bulan masa anggaran, waktu efektif pengerjaan proyek fisik rata-rata hanya sekitar 120 hari kerja. Namun, proses tender dan pencairan dana sering kali baru bergulir saat hujan mulai turun.
Akibatnya, pekerjaan dilakukan dalam kondisi cuaca ekstrem, saluran tergenang, dan waktu yang serba mepet. Kontraktor pun terjebak antara target penyelesaian proyek dan tekanan publik atas mutu pekerjaan.
Ironisnya, di tengah kondisi tersebut, pihak yang disorot justru para pelaksana di lapangan. Padahal, masalah inti ada di perencanaan dan manajemen waktu proyek pemerintah daerah.
Kapan dokumen lelang disusun? Kapan DPA turun? Dan mengapa jadwal pelaksanaan tidak pernah disesuaikan dengan siklus cuaca Bojonegoro yang dikenal punya curah hujan tinggi di akhir tahun?
Hingga kini, tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem perencanaan yang menyebabkan pekerjaan selalu berbenturan dengan musim hujan.
Langkah sidak DPRD patut diapresiasi, tetapi tanpa evaluasi akar masalah di balik keterlambatan tender dan lemahnya kontrol mutu, sidak hanya menjadi panggung politik, bukan solusi teknis.
Pemerintah daerah perlu menata ulang kalender pelaksanaan proyek fisik agar selaras dengan kondisi iklim dan kesiapan administrasi. Sebab, pembangunan tidak boleh lagi diukur dari cepatnya serapan anggaran, tetapi dari ketepatan waktu dan mutu hasil pekerjaan.
Jika tidak, Bojonegoro akan terus terjebak dalam siklus yang sama: proyek dikejar hujan, disorot publik, dan disalahkan lagi , sementara sistem tetap dibiarkan rusak.












