Lampung Selatan, Transpos.id. – Di tengah gegap gempita peringatan Hari Buruh, suara lirih seorang jurnalis muda menyelinap di antara teriakan dan spanduk tuntutan. Namanya Riyo Pratama, wartawan muda dari Tribun Lampung. Ia tak membawa toa, tak berdiri di atas panggung. Ia hanya menggenggam pena dan secarik kertas—senjatanya sejak pertama menjejak dunia jurnalistik.(1/5/2025).
“Buruh tinta, jangan kau ubah kata menjadi dana,” tulisnya dengan tangan gemetar namun hati yang teguh.
Ia bukan penggerak massa. Tapi ia bergerak. Diam-diam, melalui tulisan. Ia mencatat, merekam, dan menulis—dengan mata yang awas dan hati yang terus terusik. Ia menyebut dirinya “buruh tinta”, bukan tanpa alasan.
Dalam perjalanannya, ia menyaksikan sendiri—bagaimana sebagian rekan seprofesi mulai goyah. Kata-kata dijual murah. Kebenaran dibungkam pelan-pelan. Demi amplop. Demi janji. Demi hidup.
“Yang paling menyedihkan,” tutur Riyo, “bukan karena kami lelah menulis, tapi karena tulisan kami tak lagi berpihak. Kata-kata kami dibeli sebelum sempat bersuara.”
Riyo sadar, menjadi jurnalis adalah pekerjaan jiwa. Tapi juga kenyataan hidup. Ada keluarga yang harus diberi makan. Ada tagihan yang harus dibayar.
Namun, ia percaya, di balik setiap berita ada tanggung jawab moral yang tak boleh ditawar. Kata bukanlah komoditas. Berita bukan barang dagangan.
“Hari Buruh bukan hanya soal upah. Tapi tentang setia pada nilai-nilai,” katanya lirih.
Lewat tulisannya, ia mengajak sesama jurnalis untuk kembali pada nurani. Untuk menulis bukan hanya dengan tangan, tapi dengan hati. Untuk tetap menjadi buruh tinta—bukan penjaja kata.
“Selama kami masih menulis dengan hati, selama itu pula kami layak disebut buruh,” ujarnya menutup percakapan, sambil menatap langit yang mulai mendung—seperti hatinya.**