Bojonegoro 22/01/25, Heli Supangat adalah seorang Aktivis yang pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Pendidikan di Bojonegoro, angkat bicara soal kasus pungutan liar (pungli) di dunia Pendidikan yang belakangan ini kembali mencuat pemberitaan di berbagai media. Dalam pemberitaan menunjukkan praktik pungli yang menyasar orang tua murid dengan dalih sumbangan sukarela. Ironisnya, sumbangan yang seharusnya bersifat sukarela sering kali berubah menjadi kewajiban yang memaksa, dan itu bertentangan dengan pengertian dasar sumbangan itu sendiri.
Menurut Heli Supangat, antara pungutan dan sumbangan merupakan dua hal yang bersifat beda walaupun dalam artian yang sama yaitu sebagai penerimaan biaya pendidikan berupa uang, barang, atau jasa yang berasal dari berbagai sumber.
Pungutan sifatnya wajib yang dilakukan dengan jangka waktu tertentu dan ditentukan oleh satuan pendidikan. Sebaliknya, sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan yang sifatnya sukarela, tidak memaksa, dan tidak mengikat, baik dalam hal jumlah maupun waktu pemberiannya.
Praktik pungutan liar (pungli) di sekolah merupakan masalah yang meresahkan dan merugikan banyak pihak, terutama siswa dan orang tua. Pungli yang seringkali melibatkan permintaan biaya tambahan di luar ketentuan resmi, dapat merusak integritas sistem pendidikan dan menghambat akses pendidikan yang adil.
Walaupun dengan banyaknya pemberitaan di Media, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa batas antara pungutan dan sumbangan masih sering disalahartikan. Data dari Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2023 yang diungkap oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau (JPPI), Ubaid Matraji, menyebutkan bahwa lebih dari 44,86 persen sekolah dan 57,14 persen perguruan tinggi masih terlibat dalam praktik pungli.
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang semestinya punya peran penting dalam pengawasan pendidikan, serta dapat mengambil langkah-langkah pencegahan sesuai dengan kewenangannya, ternyata tidak terlihat adanya upaya untuk melakukan hal itu. Bahkan banyak anggota Komite masih menjabat melebihi ketentuan yang telah di buat. Sehingga fungsi dan tugas Komite Sekolah masih membudaya dan melekat seperti yang dilakukan sebelumnya. Membuat banyak masyarakat yang beranggapan bahwa Komite hanya sebagai alat sekolah untuk minta sumbangan pada Wali murid dengan dalih kesepakatan.
Menurut Heli Supangat hal tersebut dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu :
Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana sekolah sering kali menjadi celah bagi terjadinya pungli. Ketidakjelasan mengenai biaya yang harus dibayar oleh siswa dan orang tua dapat dimanfaatkan oleh oknum untuk meminta biaya tambahan yang tidak resmi.
Ketidakpastian Hukum
Meski sudah ada regulasi yang mengatur tentang pungli, implementasi hukum yang lemah sering kali membuat pelaku pungli tidak mendapatkan sanksi yang tegas. Ketidakpastian hukum ini menciptakan rasa aman bagi oknum yang melakukan pungli.
Budaya Korupsi
Di beberapa tempat, pungli sudah menjadi praktik yang dianggap biasa dan diterima oleh masyarakat. Budaya ini sulit diubah tanpa adanya upaya edukasi dan perubahan mindset yang konsisten.
Keterbatasan Pengawasan
Pengawasan yang kurang efektif dari pihak berwenang, seperti dinas pendidikan, Dewan Pendidikan dan lembaga pengawas lainnya, membuat praktik pungli sulit terdeteksi dan diatasi. Selain itu, kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengawasan juga menjadi tantangan tersendiri.
Tekanan Sosial
Siswa dan orang tua seringkali merasa takut untuk melaporkan praktik pungli karena khawatir akan mendapatkan tekanan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak sekolah. Tekanan sosial ini membuat banyak kasus pungli tidak terungkap dan terus berlanjut.
Dampak dari hal tersebut sangat merugikan banyak pihak, terutama siswa dan orang tua. Para siswa tidak mendapatkan fasilitas belajar yang memadai karena dana yang disalahgunakan. Lebih jauh, ketidakpercayaan antara orang tua dan pihak sekolah semakin menguat. Ketika kepercayaan rusak, kolaborasi antara sekolah dan orang tua dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif menjadi sulit terwujud.
Selain itu, pungli juga menambah beban ekonomi orang tua, terutama bagi keluarga kurang mampu. Data dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menunjukkan bahwa pungli dapat menciptakan ketimpangan akses pendidikan. Siswa dari keluarga miskin menjadi korban utama yang terdampak, sehingga memperparah di dunia pendidikan.
Praktik pungli di sekolah merupakan tantangan serius yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata dari berbagai pihak. Dengan meningkatkan transparansi, memberikan edukasi anti-pungli, memperkuat regulasi dan penegakan hukum, melibatkan partisipasi masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan melakukan pengawasan internal yang efektif, praktik pungli di sekolah dapat dicegah dan diatasi. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat mewujudkan sistem pendidikan yang bersih dan bebas dari pungli, sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh siswa dan masyarakat.
Ipung