Terkait Proyek Proyek Rp 1,3 M Kapas-Bogo, Kepala Dinas PUPR Bojonegoro Masih Bungkam Seribu Bahasa, Lindungi Kontraktor atau Tutupi KKN?

Bojonegoro – Pengerjaan proyek jembatan Kapas-Bogo seakan, menjadi simbol keangkuhan para oknum pejabat yang menukar akuntabilitas dengan bungkam.

Proyek Pelebaran Jembatan Kapas-Bogo 3 yang bernilai Rp 1,312 Miliar ini bukan lagi proyek infrastruktur, melainkan telah bertransformasi menjadi Monumen Kelalaian.

Bangunan yang berdiri di tengah Bojonegoro, bukan sebagai penghubung masyarakat, melainkan sebagai penanda nyata kegagalan pengawasan dan pertanggungjawaban publik yang sistematis.

Dengan deviasi fisik yang jauh dari harapan dan waktu pelaksanaan yang kian menipis, sisa pekerjaan ini adalah cermin buram dari manajemen anggaran daerah.

Bahkan terpantau Hingga detik ini, Kepala Dinas PU BMPR Bojonegoro, Chusaifi Ivan Rachmanto, dan jajarannya, tetap memilih strategi bungkam seribu bahasa.

Sikap diam ini bukan tanda profesionalisme, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip transparansi yang diamanatkan undang-undang. Yakni Kewajiban untuk segera melaksanakan Rapat Pembuktian Keterlambatan (SCM), menjatuhkan denda progresif kepada kontraktor nakal, PT/CV. BINTANG TEHNIK, hingga melakukan pemutusan kontrak dan blacklist jika deviasi melewati ambang batas, seolah diuapkan oleh kepentingan tersembunyi.

Pembiaran ini bentuk toleransi terhadap potensi kerugian negara ganda, biaya yang sudah terbayar tanpa hasil fisik yang sepadan, ditambah lagi anggaran untuk lelang ulang yang membuang waktu dan dana rakyat.

“Kelalaian ini tidak lagi murni kesalahan kontraktor, namun sepenuhnya menjadi tanggung jawab sistematis pengguna anggaran, yakni Dinas PU BMPR” ucap sumber masyarakat di lapangan.

Masyarakat Bojonegoro menuntut lebih dari sekadar klarifikasi, mereka menuntut aksi nyata dan penegakan hukum. Bungkamnya dinas terkait harus segera dipecah oleh palu keadilan. Kami mendesak agar Inspektorat Bojonegoro segera turun tangan.

“Lakukan audit kinerja dan investigatif secara menyeluruh terhadap proses lelang hingga pengawasan fisik proyek ini. Jangan biarkan Inspektorat hanya menjadi “macan ompong” yang tak berdaya di hadapan birokrasi nakal” jelasnya.

Selain itu, Kejaksaan Negeri Bojonegoro dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) harus segera mengambil sikap. Dugaan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), termasuk indikasi bendera pinjaman’ dalam proses lelang, wajib diselidiki tuntas sebagai tindak pidana korupsi. Kejati Jatim harus memantau agar kasus ini tidak mandek di tingkat lokal.

“Selanjutnya Polres Bojonegoro dan Polda Jawa Timur (Polda Jatim) didorong untuk memulai penyelidikan hukum. Libatkan Unit Tipikor untuk mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang dan potensi kerugian negara akibat kelalaian dan kongkalikong yang diduga terjadi” tandasnya

Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga didesak untuk memantau dan jika perlu mengambil alih kasus ini, mengingat Bojonegoro sering menjadi sorotan terkait proyek infrastruktur. Proyek senilai Rp 1,3 Miliar ini adalah momentum untuk menunjukkan bahwa tidak ada pejabat yang kebal hukum di tengah upaya pemberantasan korupsi di daerah.

Jangan biarkan infrastruktur vital dikorbankan demi melindungi kepentingan segelintir pejabat dan rekanan. APH harus membuktikan bahwa prinsip akuntabilitas dan supremasi hukum adalah nyata, bukan sekadar basa-basi di atas kertas.

By Redaksi

Tinggalkan Balasan