Lampung Selatan, Transpos.id. – Proses seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) untuk posisi Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Lampung Selatan memasuki babak akhir. Tiga nama telah diumumkan secara resmi oleh Panitia Seleksi berdasarkan rekomendasi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN): Suryiyanto, S.Sos., M.M., Drs. Muhammad Darmawan, M.M., dan Anton Carmana, S.E.
Publik patut mengapresiasi keterbukaan ini sebagai langkah awal membangun tata kelola pemerintahan yang lebih partisipatif dan akuntabel. Namun seperti banyak proses transisional dalam birokrasi daerah, euforia transparansi ini tetap menyisakan sejumlah catatan kritis yang harus dijawab bersama.(04/6/25)
Sinyal Positif di Tengah Jalan Panjang Reformasi
Yang patut dicatat pertama kali adalah komitmen panitia seleksi untuk menyampaikan hasil seleksi secara terbuka. Nama-nama kandidat, NIP, serta urutan peringkat diumumkan secara resmi, mengindikasikan semangat keterbukaan yang telah lama ditunggu publik dalam seleksi jabatan strategis.
Lebih dari sekadar pengumuman, proses ini juga menunjukkan kepatuhan terhadap regulasi nasional. PP No. 11 Tahun 2017 juncto PP No. 17 Tahun 2020 telah menjadi kerangka normatif yang menjamin bahwa seleksi tidak semata-mata urusan politik atau lobi kekuasaan, melainkan proses yang bisa ditelusuri dasar hukumnya. Apalagi dengan keterlibatan BKN dan unsur penilai independen, peluang intervensi eksternal seolah dapat ditekan seminimal mungkin.
Namun, pada titik inilah refleksi kritis perlu dimunculkan.
Transparansi yang Setengah Jalan?
Sayangnya, transparansi yang digaungkan masih terjebak dalam kerangka administratif. Proses seleksi memang diumumkan, tetapi substansi dari proses itu belum sepenuhnya terbuka. Publik tidak disuguhkan informasi mengenai bagaimana penilaian dilakukan, apa indikator kompetensi yang digunakan, serta sejauh mana kandidat memiliki keunggulan tertentu.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah tidak adanya penjelasan tentang rekam jejak, profil, atau visi strategis dari para kandidat. Dalam sebuah sistem demokrasi administratif, keterbukaan tidak hanya berarti mempublikasikan nama, tapi juga membuka ruang penilaian publik terhadap calon pemegang jabatan penting. Masyarakat berhak mengetahui gagasan apa yang dibawa calon Sekda ke depan, terutama di tengah tantangan reformasi birokrasi daerah yang belum tuntas.
Di Balik Kesempatan, Ada Tanggung Jawab Besar
Siapa pun yang akhirnya ditetapkan sebagai Sekda definitif akan memikul tanggung jawab besar. Lampung Selatan membutuhkan motor penggerak birokrasi yang tidak hanya paham aturan, tetapi juga mampu menjawab persoalan riil masyarakat, mulai dari ketimpangan pelayanan, efisiensi anggaran, hingga pembangunan berbasis data.
Seleksi terbuka ini, jika dituntaskan secara konsisten dan objektif, bisa menjadi momentum konsolidasi internal di tubuh ASN. Sekda yang dipilih secara meritokratis akan memiliki otoritas moral dan legitimasi politik untuk memimpin transformasi birokrasi daerah. Bahkan, model seleksi seperti ini bisa menjadi preseden positif bagi pengisian jabatan publik lainnya—selama transparansi dijaga hingga pelantikan.
Politik Lokal: Ancaman Nyata atas Integritas Proses
Namun harapan itu juga berhadapan dengan kenyataan politik lokal yang tidak mudah ditebak. Dalam praktiknya, jabatan Sekda kerap kali menjadi titik temu antara kekuasaan administratif dan kepentingan politis. Meski seleksi dilakukan secara terbuka, keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat pembina kepegawaian, yang dalam konteks daerah adalah bupati atau penjabat kepala daerah.
Di sinilah kekhawatiran muncul. Apakah penetapan akan mengikuti skor dan kapabilitas murni? Atau justru kembali ke pola lama, di mana “kedekatan” lebih dominan daripada “kompetensi”? Jika proses pelantikan tercederai oleh kompromi politik, maka seluruh tahapan seleksi yang telah berjalan hanya menjadi etalase legitimasi semu.
Menuju Birokrasi Daerah yang Profesional
Seleksi Sekda Lampung Selatan tahun ini adalah cermin. Di dalamnya, publik bisa melihat upaya menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik, tetapi juga melihat bias dan kekurangannya. Proses ini belum selesai; pelantikan masih menjadi bab penting yang menentukan ke mana arah reformasi ini akan dibawa.
Sudah saatnya semua pihak—baik birokrasi, politik, maupun masyarakat sipil—membangun budaya meritokrasi yang utuh. Bukan hanya demi sistem yang transparan, tetapi demi kepercayaan masyarakat yang kian menipis pada lembaga-lembaga publik.
Jangan biarkan transparansi berhenti di pengumuman. Ia harus hidup dalam keputusan, dalam pelantikan, dan dalam praktik kepemimpinan ke depan.
Redaksi – Opini Publik Daerah
Tulisan ini adalah hasil observasi independen dan tidak mewakili kepentingan kandidat manapun.(red)