Opini  

*20 Tahun ExxonMobil di Blok Cepu: Janji Kesejahteraan yang Tersandera oleh Ketimpangan*

Bojonegoro – Dua puluh tahun sudah ExxonMobil mengelola Blok Cepu, proyek strategis nasional yang disebut-sebut sebagai penopang energi Indonesia. Namun di tengah catatan produksi minyak yang fantastis, muncul pertanyaan mendasar dari masyarakat Bojonegoro: di mana letak kesejahteraan rakyat yang dijanjikan sejak awal eksploitasi dilakukan?

Secara statistik, Blok Cepu memang membanggakan. Produksi pernah menembus 200 ribu barel per hari, menjadikannya salah satu tulang punggung migas nasional. Namun jika menelusuri dampaknya di tingkat lokal, hasilnya ironis. Peningkatan produksi tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro.

*Ilusi Kemakmuran dari Minyak*

Pendapatan daerah memang meningkat dari dana bagi hasil (DBH), tetapi manfaatnya hanya bersifat administratif dan fiskal. Di akar rumput, ekonomi masyarakat tidak bergerak signifikan. Sektor pertanian melemah, usaha kecil menengah sulit bertahan, dan ketimpangan pendapatan semakin terasa.
Industri migas yang semestinya menjadi pengungkit justru menciptakan ilusi kemakmuran, karena pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir pihak.

*Tanah Pertanian yang Tergusur*

Bojonegoro dulunya dikenal sebagai kabupaten agraris dengan kekayaan tanah yang subur di sepanjang Bengawan Solo. Namun sejak Blok Cepu beroperasi, ribuan hektar lahan produktif beralih fungsi menjadi kawasan industri, jalur pipa, dan akses infrastruktur migas.
Kondisi ini menyingkirkan banyak petani dari ruang hidupnya sendiri. Alih fungsi lahan bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan penghapusan identitas agraris masyarakat Bojonegoro.

Ironisnya, program CSR ExxonMobil yang digadang-gadang mampu mengimbangi dampak sosial ekonomi, justru lebih banyak berorientasi pada kegiatan simbolik ketimbang pemulihan ekologis dan pemberdayaan petani. Kehilangan tanah berarti kehilangan martabat dan kemandirian ekonomi.

*Luka Ekologis yang Terabaikan*

Di balik kemegahan kilang dan produksi migas, tersimpan luka ekologis yang tak banyak dibicarakan. Warga sekitar lokasi produksi kerap mengeluhkan pencemaran air tanah, kebisingan mesin pengeboran, dan rusaknya jalan akibat lalu lintas kendaraan berat.
Sayangnya, audit lingkungan yang terbuka dan akuntabel tidak pernah dipublikasikan. ExxonMobil selalu berlindung di balik jargon standar internasional, namun publik tidak pernah tahu sejauh mana kepatuhan lingkungan benar-benar dijalankan.

Pemerintah daerah seolah kehilangan kendali dalam fungsi pengawasan. Akibatnya, Bojonegoro menanggung beban ekologis tanpa kompensasi yang layak.

*Kegagalan Pemberdayaan Lokal*

Salah satu janji besar ExxonMobil adalah peningkatan kapasitas SDM lokal dan prioritas tenaga kerja Bojonegoro. Faktanya, posisi strategis tetap didominasi oleh tenaga kerja luar daerah, sementara warga lokal hanya terserap di sektor non-teknis dan temporer.
Program pelatihan yang ada cenderung seremonial tanpa kesinambungan. Janji transfer of knowledge berubah menjadi retorika tanpa substansi.

*Transparansi dan Keadilan yang Tumpul*

Selama dua dekade, tata kelola Blok Cepu berlangsung dalam bayang-bayang minimnya transparansi dan lemahnya kontrol publik.
Data produksi, pembagian keuntungan, hingga realisasi CSR sulit diakses oleh masyarakat. Pemerintah daerah dan lembaga pengawasan publik tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menuntut keterbukaan.
Padahal, industri ekstraktif seharusnya tunduk pada prinsip Good Governance: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Tanpa itu, pengelolaan migas hanya melanggengkan ketimpangan struktural antara korporasi global dan rakyat lokal.

*Kutukan Sumber Daya Alam yang Menjadi Nyata*

Kini, Bojonegoro menjadi contoh klasik dari kutukan sumber daya alam (resource curse) — daerah kaya minyak, tapi rakyatnya tidak sejahtera.
Kekayaan yang seharusnya menjadi berkah berubah menjadi beban sosial dan ekologis, karena absennya keadilan distribusi hasil dan lemahnya komitmen terhadap lingkungan.

*Seruan untuk Refleksi dan Reorientasi*

Dua puluh tahun perjalanan Blok Cepu harus menjadi bahan refleksi serius. Pemerintah, BUMD, dan masyarakat sipil perlu menuntut transparansi kontrak, audit lingkungan terbuka, serta model pengelolaan yang berpihak pada rakyat.
Kekayaan alam Bojonegoro tidak boleh terus dieksploitasi tanpa arah. Migas bukan segalanya. Kesejahteraan sejati hanya bisa lahir dari keadilan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

*Haryono*
Divisi Litbang YLPKSM Bojonegoro

Bojonegoro

Penulis: PEditor: Redaksi

Tinggalkan Balasan