Blora – Proyek rigid beton peningkatan jalan Kecamatan Cepu–Sambong, Kabupaten Blora, dengan nilai kontrak Rp 6,5 miliar dari APBD Blora, menuai sorotan tajam dari masyarakat.
Pantauan di lapangan, material pedel (limestone) yang digunakan di beberapa titik justru berupa lumpur dan dinilai tidak layak untuk mendukung konstruksi jalan beton. Kondisi ini dikhawatirkan menurunkan kualitas serta umur teknis jalan yang seharusnya menjadi akses vital warga.
“Ini proyek miliaran rupiah, tapi kok materialnya seperti ini. Kalau dibiarkan, paling umur jalan hanya sebentar,” keluh salah satu warga setempat.
Selain kualitas material, keterbukaan informasi proyek juga dipertanyakan. Papan informasi sempat tidak terlihat di lokasi, meski pihak pelaksana kemudian menyebut papan sudah terpasang. Publik menilai lemahnya transparansi membuka ruang spekulasi terkait tata kelola proyek.
Ketika dikonfirmasi, pihak pelaksana CV. Atyasa Apti mengakui adanya masalah material.
“Benar, ada beberapa titik material yang kurang bagus. Sudah kami evaluasi dan akan segera diganti dengan material sesuai standar. Papan informasi proyek juga sudah terpasang di lokasi,” ujar perwakilan pelaksana, Kamis (25/9/2025).
Namun, Kepala Desa Gianti yang wilayahnya menjadi lokasi proyek, saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, tidak memberikan tanggapan. Diamnya pihak desa ini semakin memunculkan pertanyaan publik tentang lemahnya pengawasan di tingkat lokal.
Berdasarkan kontrak Nomor 620/BM.1582/2025, proyek ini dimulai 22 Agustus 2025 dan ditargetkan rampung 15 Desember 2025, dengan masa kerja 116 hari kalender. Konsultan pengawas tercatat adalah CV. Tiara Sinergi. Volume pekerjaan meliputi jalan beton lebar 4,5 meter sepanjang 2.631 meter, serta jalan beton lebar 3 meter sepanjang 125 meter.
Sejumlah kalangan mendesak pengawasan lebih ketat, bahkan aparat penegak hukum diminta ikut turun tangan.
“Kalau proyek Rp 6,5 miliar pakai material lumpur, itu jelas merugikan rakyat. Aparat hukum harus mengawasi agar tidak ada penyimpangan,” tegas seorang pemerhati pembangunan lokal.
Secara regulasi, proyek pemerintah wajib transparan dan sesuai standar teknis sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Jika terbukti ada penyimpangan, pelaksana dapat dikenai sanksi administratif berupa pemutusan kontrak, denda keterlambatan, hingga masuk daftar hitam (blacklist). Bahkan bila terdapat indikasi kerugian negara, kasus bisa masuk ranah pidana korupsi.
Kini publik menanti realisasi janji perbaikan dari CV. Atyasa Apti, langkah pengawasan Dinas PU Blora, serta sikap kepala desa. Sebab, proyek senilai Rp 6,5 miliar ini bukan hanya soal jalan, melainkan menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola pembangunan di Blora.