Bojonegoro – Masifnya pembangunan infrastruktur di Bojonegoro menumbuhkan banyak usaha dan profesi kerja di bidang konstruksi maupun ragam usaha pendukungnya. Tidak kurang dari 1700 perusahaan yang bergerak di bidang ini dalam catatan Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Dinperinaker) Kabupaten Bojonegoro.

Hal ini tentu berimplikasi pada besarnya kebutuhan tenaga kerja. Sampai dengan tahun 2025, diperkirakan setidaknya 30.000 buruh konstruksi telah bekerja pada berbagai proyek infrastruktur yang ada di Bojonegoro.

Angka ini bisa menggelembung, jika mengikutkan buruh konstruksi informal yang tidak tercatat dalam data Dinperinaker. “Kami perkirakan buruh konstruksi informal jumlahnya sebanding dengan yang formal. Jadi ditaksir sekitar 60.000 total pekerja konstruksi di Bojonegoro”, tutur Arif Rahmanto, ketua Serikat Buruh Konstruksi Indonesia Kabupaten Bojonegoro (SBKI Bojonegoro).

Namun besarnya jumlah serapan kerja konstruksi ini tidak sebanding dengan kualitas lingkungan kerja, terutama pada aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi. Masih sedikit perusahaan yang mematuhi Sistem Manajemen K3 (SMK3) Konstruksi. Situasi ini membuat SBKI Bojonegoro menggelar aksi, sebagai bagian penutup dari Bulan Peringatan K3 Nasional sejak 12 Januari hingga 12 Februari 2025.

Dengan membentangkan spanduk bertuliskan “1 Nyawa Berharga (1 Life Priceless!)” dan poster “Zero Accidents is not Option, This is Human Rights!” (Nihil Kecelakaan bukan sebatas pilihan, ini adalah Hak Asasi Manusia!), kampanye ini bertujuan untuk mengajak semua pihak bekerjasama untuk mewujudkannya.

“SBKI Bojonegoro merupakan bagian dari Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (FSERBUK) Indonesia yang berafiliasi dengan Building and Wood Workers International (BWI), sebagai upaya bersama seluruh organisasi buruh konstruksi serta sektor jasa dan produksi pendukungnya di berbagai belahan dunia untuk memperjuangkan hak politik, ekonomi, sosial, budaya hingga ekologi para buruh baik formal maupun informal.

Arif memaparkan.
Dalam aksi ini, SBKI Bojonegoro menjelaskan kerja konstruksi masih menjadi sektor terbesar dalam prosentase kecelakaan kerja, sekitar 32%, melampaui sektor transportasi dan pertambangan.

Hal ini diperparah dengan masih banyaknya buruh konstruksi yang mengalami ketiadaan kontrak kerja, jam kerja yang panjang, upah tidak layak, minimnya alat pelindung diri (APD) yang standar, buruknya perlindungan K3, rendahnya jaminan keberlangsungan kerja (rentan PHK) hingga belum adanya serikat buruh di lingkungan kerja. Belum lagi situasi atas tingkat pengawasan yang rendah dari pemangku regulasi, jumlah pengawas yang tidak sebanding dengan kuantitas dan jangkauan pengawasan, sentralisasi pengawasan di bawah Gubernur menyebabkan sulitnya akses buruh konstruksi yang mayoritas bekerja di berbagai pelosok proyek infrastruktur, hingga penegakan hukum yang lemah terhadap para pemberi kerja yang melanggar regulasi.

Dalam tuntutannya, SBKI Bojonegoro mendesak kepada Bidang Pengawasan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur untuk menambah jumlah pengawas di tingkat kabupaten dan mendorong lebih proaktif mengawasi kegiatan bidang konstruksi.

Selain itu, mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro untuk membuat Peraturan Daerah tentang Jaminan Perlindungan dan Penghidupan Pekerja Konstruksi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari regulasi dan kebijakan Pemerintah Daerah terhadap program pembangunan infrastruktur mulai dari desa, kabupaten, provinsi hingga nasional.

Terakhir, SBKI Bojonegoro menyerukan kepada seluruh pekerja di sektor konstruksi dan industri yang mendukungnya, baik formal dan informal, untuk membangun maupun bergabung kedalam Serikat Buruh agar melalui wadah ini dapat berkolaborasi dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk medapatkan kondisi dan lingkungan kerja yang lebih baik.(Eko)

By Redaksi