Lamongan – Polemik makam palsu dan bangunan joglo mewah di Dusun Rangkah, Desa Ngujungrejo, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, memasuki babak yang kian panas dan penuh tanda tanya.
Alih-alih bertindak tegas menindak praktik ilegal dan menyesatkan yang dilakukan oleh oknum perangkat desa dan pengikutnya sejak 2023, Camat Turi dan Kepala Desa Ngujungrejo justru dituding tutup mata dan secara terang-terangan mengabaikan keputusan resmi.
Ironisnya, dugaan pembiaran ini terjadi meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lamongan telah mengeluarkan Fatwa resmi yang secara jelas menyatakan keberadaan makam dan cungkup tersebut TIDAK DIBENARKAN dan harus dikembalikan ke kondisi semula.
Menurut salah satu tokoh agama dan masyarakat setempat, Pemkab Lamongan sudah tidak tinggal diam. Surat pemberitahuan resmi yang merujuk pada Fatwa MUI telah dilayangkan kepada Kepala Desa Ngujungrejo.
Bahkan, Camat Turi sebagai Pejabat Penata Tingkat Satu di wilayah tersebut juga telah menerima surat perintah dari Pemkab untuk memastikan makam dan bangunannya dibongkar. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Makam palsu dan joglonya itu masih dibiarkan berdiri kokoh.
“Sudah jelas-jelas ada Fatwa MUI dan ada surat resmi dari Pemkab Lamongan, tapi kenapa Camat dan Kades (Kepala Desa) masih membiarkannya? Ini bukan lagi soal lamban, ini sudah mengarah pada pembangkangan dan pelecehan terhadap institusi ulama dan pemerintah daerah,” ujar salah satu tokoh agama Dusun Rangkah, yang meminta ketegasan.
Sikap Mujib selaku Kades Ngujungrejo yang terkesan “berat sebelah” dan hanya beralasan situasi di masyarakat “kondusif” dinilai hanyalah upaya untuk melindungi oknum perangkat desanya yang menjadi pembuat makam fiktif tersebut.
Sementara itu, Camat Turi juga sempat dikabarkan tidak hadir dalam rapat koordinasi yang digelar MUI, sebuah tindakan yang dianggap meremehkan seriusnya persoalan akidah dan penyesatan publik.
Keresahan masyarakat memuncak pada dugaan kuat adanya kongkalikong antara pejabat desa, pejabat kecamatan, dan oknum perangkat desa pembuat makam.
“Mungkinkah karena yang membuat adalah oknum perangkat desa sendiri, makanya Bapak Camat dan Bapak Kades tidak berani bertindak? Padahal jika yang membuat adalah masyarakat biasa, kami yakin tindakan pendisiplinan sudah lama diambil!” tegasnya.
Dugaan pembiaran ini tidak hanya merusak citra Pemerintahan Desa dan Kecamatan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas mereka dalam menjalankan amanat jabatan dan kepatuhan terhadap hukum serta fatwa keagamaan.
Polemik ini bukan hanya masalah lokal desa, tetapi sudah menjadi isu nasional yang mencoreng nama Lamongan. Pihak-pihak terkait yang memiliki wewenang eksekusi dan pengawasan tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan birokrasi:
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) serta Inspektorat Harus segera melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan dana desa yang diduga dialihkan untuk pembangunan makam ilegal, sekaligus mengambil tindakan disiplin keras terhadap Kepala Desa dan oknum perangkat desa yang terlibat.
Selain itu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sebagai penegak Perda dan ketertiban umum, Satpol PP harus segera mengeksekusi pembongkaran makam dan joglo tersebut sesuai dengan surat perintah dari Pemkab Lamongan dan Fatwa MUI.
Selanjutnya, Bupati Lamongan sebagai Pimpinan tertinggi di kabupaten harus turun tangan langsung, memastikan rantai komando berjalan, dan memberikan sanksi tegas kepada Camat Turi dan Kades Ngujungrejo jika terbukti sengaja menunda atau mengabaikan instruksi resmi.
Masyarakat menuntut keadilan dan kebenaran. Jika Fatwa ulama dan keputusan Pemkab terus diabaikan oleh pejabat di tingkat bawah, maka Lamongan terancam menjadi daerah yang dilegitimasi oleh praktik penyesatan dan ketidakpatuhan birokrasi tanpa ada konsekuensi hukum. Ketegasan Pemkab harus dibuktikan dengan pembongkaran segera, bukan lagi janji dan penundaan.