KP.NORMAN, – Di jaman edan, orang pandai belum tentu sukses & orang bodoh belum tentu sengsara (yang penting adalah berani). Yang sukses adalah orang yang cerdik & licik, sedangkan orang jujur meskipun menjadi pekerja keras namun hidupnya sengsara. “Jujur ajur, olo mulyo” begitulah pepatah Jawa dalam menggambarkan jaman edan, yg maknanya orang jujur malah bisa jadi hancur karena ditinggalkan orang-orang sekitarnya (yang tidak beres moralnya) & sebaliknya, orang “olo” (tidak baik moralnya) malah kehidupannya bisa jadi baik, karena berani berbuat dengan menghalalkan segala cara.
Di jaman edan, orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Ingin mendapat pekerjaan apalagi jabatan harus menyuap. Maka hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan & jabatan. Sementara orang-orang miskin semakin terpinggirkan. Itulah konsekuensi logis dari sistem liberalisme & kapitalisme. Orang kaya mengeksploitasi orang miskin.
Di jaman edan, korupsi ada dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang yang sudah kaya dan berpendidikan.
Mereka terus menerus menguras uang negara. hartanya sudah bertumpuk namun masih saja merasa kurang & kurang. Tanpa peduli dengan penderitaan orang miskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya. Empati & kepedulian sudah luntur dari qalbunya.
Di jaman edan, moral tidak dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan & tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan & yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan.
Jaman edan, keadaan itu sudah pernah ditulis oleh Ronggowarsito dalam sebuah syair yang dikenal dengan ‘Serat Kolotidho”.
Serat Kolotidho adalah sebuah karya sastra Jawa karangan Raden Ngabehi Ronggowarsito yang ditulis sekitar tahun 1860 Masehi. Ronggowarsito adalah pujangga terakhir dari Kasunanan/kerajaan Surakarta. Konon, Ronggowarsito menulis syair ini karena suatu kekecewaan, ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan.
Penyebabnya adalah ketidak adilan, krisis yang terjadi di segala lini waktu itu di Kasunanan & ia menyebutnya sebagai : jaman gila/edan.
Kolotidho merupakan sebuah syair yang sangat termashur. Ketenaran Serat Kolotidho juga mencapai kota Leiden, Belanda. Di Leiden, petikan dari Serat Kolotidho diukir dlm aksara Jawa di atas tembok samping sebuah rumah yang beralamat di Kraaierstraat nr 34.
Serat Kolotidho bukanlah ramalan seperti Jangka Joyoboyo. Serat Kolotidho adalah sebuah syair yg terdiri dari 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup Ronggowarsito. “Kolo” berarti “jaman” dan “tidho” adalah “ragu”. Kolotidho berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian banyak yang memberi pengertian “Kolotidho adalah “jaman edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat populer.
Kebanyakan orang hafal bait ketujuh ini secara tidak lengkap.
“Amenangi jaman édan; Mélu ngédan nora tahan; Yén tan mélu anglakoni boya kéduman; Begja-begjaning kang édan; Luwih begja kang éling klawan waspada”,
Artinya “Berada pada zaman édan; Kalau ikut édan tidak akan tahan; Tapi kalau tidak ngikuti édan tidak kebagian; Sebahagia-bahagianya orang yang édan; Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.”
Bait ke-tujuh serat ini menggambarkan situasi “edan” saat itu & ajakan untuk mawas diri. Makna dari bait ke tujuh adalah sebagai berikut :
Mengalami hidup pada jaman edan; memang serba repot; Mau ikut ngedan hati tidak sampai; Kalau tidak mengikuti; Tidak kebagian apa-apa; akhirnya malah kelaparan; namun sudah menjadi kehendak Tuhan; Bagaimanapun beruntungnya orang yang “edan”; Masih lebih beruntung orang yang “eling” ingat & “waspodo” waspada.